Definisi Tawakkal
Tawakkal sering diucapkan banyak orang di setiap pagi dan moment. Tapi, sedikit dari mereka yang memahami maknanya. Lalu, di antara yang sedikit ini, sedikit pula yang menerapkannya dan merubahnya dari ungkapan kata menjadi realitas konkrit di kehidupannya bersama dirinya sendiri, Allah Ta’ala, dan manusia.
Tawakkal ialah Anda melimpahkan seluruh urusan Anda kepada Allah Ta’ala. Tawakkal juga berarti percaya kepada Allah Ta’ala, beriman kepada kemampuan, kekuatan dan ilmuNya. Jadi, tawakkal ialah bersandar secara total kepada Allah dan hasilnya ialah beriman secara nyata kepada sebagian nama dan sifatNya.
Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah berkata, “Tawakkal itu separoh agama dan separohnya lainnya ialah inabah (taubat). Agama itu ibadah dan isti’anah (minta pertolongan). Tawakkal ialah meminta pertolongan dan inabah adalah ibadah (Tahdzibu Madariji As-Salikin, hal 336).
Jika Anda minta pertolongan kepada Allah Ta’ala, itu berarti Anda mengakui diri Anda lemah dan bodoh, beriman kepada ilmu Allah dan kekuasaanNya. Lalu, Anda tunduk kepadaNya, minta pertolonganNya dan mencintaiNya. Itu semua makna ibadah.
Nabi Yusuf Alaihis Salam dan Dua Sahabatnya
Di tafsirnya yang bermutu, Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah menguatkan pendapat bahwa hukuman Allah Ta’ala kepada Nabi Yusuf Alaihis Salam, berupa mendekam beberapa tahun di penjara disebabkan beliau minta pertolongan kepada manusia, sebelum kepada Allah Ta’ala. Hal itu terjadi, saat Nabi Yusuf berkata kepada sahabatnya, yang beliau yakini akan bebas,
“Terangkan keadaanku pada tuanmu” (Yusuf : 42).
Yang dimaksud dengan kata tuanmu pada ayat itu ialah rajamu. Allah Ta’ala berfirman :
“Maka setan menjadikan lupa ingat Tuhannya (Yusuf : 42).
Maksudnya, setan membuat Nabi Yusuf Alaihis Salam lupa tidak minta pertolongan kepada Allah Ta’ala, dengan menyebut Tuhan hakikinya dan malah minta pertolongan kepada manusia. Allah Ta’ala berfirman,
“karena itu, dia (Yusuf) berasa di penjara selama beberapa tahun. (Yusuf : 42).
Allah Ta’ala tidak rela seseorang minta pertolongan kepada selain Dia, karena selain Dia tidak punya daya dan upaya. Selain Dia, kendati punya kekuatan digdaya, kekuasaan tidak terbatas, dan persenjataan modern, namun tidak lebih dari salah seorang hambaNya, di mana seluruh gerakan, bisikan, dan keinginannya berada di bawah keinginan dan kekuasaan Allah Ta’ala.
Maryam Menggoyang Pohon Kurma
Kita kagum dengan firman Allah Ta’ala di surat Maryam,
“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu”. (Maryam : 25).
Bagaimana mungkin Maryam dalam kondisi nifas, lelah dan capek setelah melahirkan, hingga tidak dapat bergerak sedikitpun, tapi mampu menggoyang pohon kurma? Padahal, kita tahu pohon kurma itu pohon paling kokoh dan akar-akarnya paling kuat dibandingkan dengan akar-akar pohon yang lain? Selain itu, tandan pohon kurma, yang perlu digoyang agar kurmanya jatuh tentu tinggi sekali, hingga tidak mampu dijangkau oleh tangan? Bagaimana Maryam, yang notabene wanita yang di antara karakternya lemah, ditambah hamil, serta kondisi kejiwaannya tidak ideal ebab ia ketakutan dituduh pezina oleh keluarganya padahal ia orang suci, tapi ia sanggup menggoyang pohon kurma?
Itulah ketentuan Allah Ta’ala dalam mencurahkan tenaga, agar makna hakiki tawakkal terealisir dengan manis. Karena itu, orang yang bertawakkal kepada Allah harus mencurahkan tenaga dan berusaha. Inilah ketetapan Allah. Makna ini terlihat dengan jelas di banyak ayat Al-Qur’an dan sirah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Kita lihat Allah berfirman :
“Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tapi Allah yang melempar (Al-Anfal : 17).
Itu terjadi setelah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam mengambil segenggam tanah dan melemparkannya ke wajah orang-orang kafir di salah satu perang. Lalu, tanah mengenai mata seluruh orang kafir dna menjadi salah satu sebab kemenangan kaum muslimin. Allah menghendaki sebab tersebut pada Rasulullah, yaitu melempar segenggam tanah, sedang pemberi kemenangan hakiki adalah Allah sendiri. Karena itu Allah tidak “memperhitungkan” lemparan Rasulullah dan menganggap “lemparanNya”. Sebab, setelah bertawakkal kepada Allah, Rasulullah tidak menambahkan sesuatu apapun pada usaha beliau. Hal yang sama terjadi pada tongkat Nabi Musa Alaihis Salam.
(Sumber : Taujih Ruhiyah 1, karya : Abdul Hamid Al-Bilali)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar